“Masak apa Yen?” kataku sedikit
mengejutkan adik iparku, yang saat itu sedang berdiri sambil
memotong-motong tempe kesukaanku di meja dapur. “Ngagetin aja sih,
hampir aja kena tangan nih,” katanya sambil menunjuk ibu jarinya dengan
pisau yang dipegangnya. “Tapi nggak sampe keiris kan?” tanyaku menggoda.
“Mbak Ratri mana Mas, kok nggak sama-sama pulangnya?” tanyanya tanpa
menolehku. “Dia lembur, nanti aku jemput lepas magrib,” jawabku. “Kamu
nggak ke kampus?” aku balik bertanya. “Tadi sebentar, tapi nggak jadi
kuliah. Jadinya pulang cepat.” “Aauww,” teriak
Yeyen tiba-tiba sambil memegangi salah satu jarinya. Aku langsung
menghampirinya, dan kulihat memang ada darah menetes dari jari telunjuk
kirinya. “Sini aku bersihin,” kataku sambil membungkusnya dengan serbet
yang aku raih begitu saja dari atas meja makan.
Yeyen nampak meringis saat aku menetesinya dengan Betadine, walau
lukanya hanya luka irisan kecil saja sebenarnya. Beberapa saat aku
menetesi jarinya itu sambil kubersihkan sisa-sisa darahnya. Yeyen nampak
terlihat canggung saat tanganku terus membelai-belai jarinya. “Udah ah
Mas,” katanya berusaha menarik jarinya dari genggamanku. Aku pura-pura
tak mendengar, dam masih terus mengusapi jarinya dengan tanganku. Aku
kemudian membimbing dia untuk duduk di kursi meja makan, sambil tanganku
tak melepaskan tangannya. Sedangkan aku berdiri persis di sampingnya.
“Udah nggak apa-apa kok Mas, Makasih ya,” katanya sambil menarik
tangannya dari genggamanku. Kali ini ia berhasil melepaskannya. “Makanya
jangan ngelamun dong. Kamu lagi inget Ma si Novan ya?” godaku sambil
menepuk-nepuk lembut pundaknya. “Yee, nggak ada hubungannya, tau,”
jawabnya cepat sambil mencubit punggung lenganku yang masih berada
dipundaknya.
Kami memang akrab, karena umurku dengan dia hanya terpaut 4 tahun saja.
Aku saat ini 27 tahun, istriku yang juga kakak dia 25 tahun, sedangkan
adik iparku ini 23 tahun. “Mas boleh tanya nggak. Kalo cowok udah deket
Ma temen cewek barunya, lupa nggak sih Ma pacarnya sendiri?” tanyanya
tiba-tiba sambil menengadahkan mukanya ke arahku yang masih berdiri
sejak tadi. Sambil tanganku tetap meminjat-mijat pelan pundaknya, aku
hanya menjawab, “Tergantung.” “Tergantung apa Mas?” desaknya seperti
penasaran. “Tergantung, kalo si cowok ngerasa temen barunya itu lebih
cantik dari pacarnya, ya bisa aja dia lupa Ma pacarnya,” jawabku
sekenanya sambil terkekeh. “Kalo Mas sendiri gimana? Umpamanya gini, Mas
punya temen cewek baru, trus tu cewek ternyata lebih cantik dari pacar
Mas. Mas bisa lupa nggak Ma cewek Mas?” tanya dia. “Hehe,” aku hanya
ketawa kecil aja mendengar pertanyaan itu. “Yee, malah ketawa sih,”
katanya sedikit cemberut. “Ya bisa aja dong. Buktinya sekarang aku deket
Ma kamu, aku lupa deh kalo aku udah punya istri,” jawabku lagi sambil
tertawa. “Hah, awas lho ya. Ntar Yeyen bilangan lho Ma Mbak Ratri,”
katanya sambil menahan tawa. “Gih bilangin aja, emang kamu lebih cantik
dari Mbak kamu kok,” kataku terbahak, sambil tanganku mengelus-ngelus
kepalanya. “Huu, Mas nih ditanya serius malah becanda.” “Lho, aku emang
serius kok Yen,” kataku sedikit berpura-pura serius.
Kini belaian tanganku di rambutnya, sudah berubah sedikit menjadi
semacam remasan-remasan gemas. Dia tiba-tiba berdiri. “Yeyen mo lanjutin
masak lagi nih Mas. Makasih ya dah diobatin,” katanya. Aku hanya
membiarkan saja dia pergi ke arah dapur kembali. Lama aku pandangi dia
dari belakang, sungguh cantik dan sintal banget body dia. Begitu pikirku
saat itu. Aku mendekati dia, kali ini berpura-pura ingin membantu dia.
“Sini biar aku bantu,” kataku sambil meraih beberapa lembar tempe dari
tangannya. Yeyen seolah tak mau dibantu, ia berusaha tak melepaskan
tempe dari tangannya. “Udah ah, nggak usah Mas,” katanya sambil menarik
tempe yang sudah aku pegang sebagian. Saat itu, tanpa kami sadari
ternyata cukup lama tangan kami saling menggenggam. Yeyen nampak ragu
untuk menarik tangannya dari genggamanku. Aku melihat mata dia, dan
tanpa sengaja pandangan kami saling bertabrakan. Lama kami saling
berpandangan. Perlahan mukaku kudekatkan ke muka dia. Dia seperti kaget
dengan tingkahku kali ini, tetapi tak berusaha sedikit pun menghindar.
Kuraih kepala dia, dan kutarik sedikit agar lebih mendekat ke mukaku.
Hanya hitungan detik saja, kini bibiku sudah menyentuh bibirnya. “Maafin
aku Yen,” bisiku sambil terus berusaha mengulum bibir adik iparku ini.
Yeyen tak menjawab, tak juga memberi respon atas ciumanku itu. Kucoba
terus melumati bibir tipisnya, tetapi ia belum memberikan respon juga.
Tanganku masih tetap memegang bagian belakang kepala dia, sambil
kutekankan agar mukanya semakin rapat saja dengan mukaku. Sementara
tangaku yang satu, kini mulai kulingkarkan ke pinggulnya dan kupeluk
dia. “Sshh,” Yeyen seperti mulai terbuai dengan jilatan demi jilatan
lidahku yang terus menyentuh dan menciumi bibirnya. Seperti tanpa ia
sadari, kini tangan Yeyen pun sudah melingkar di pinggulku. Dan
lumatanku pun sudah mulai direspon olehnya, walau masih ragu-ragu.
“Sshh,” dia mendesah lagi. Mendengar itu, bibirku semakin ganas saja
menjilati bibir Yeyen. Perlahan tapi pasti, kini dia pun mulai
mengimbangi ciumanku itu. Sementara tangaku dengan liar meremas-remas
rambutnya, dan yang satunya mulai meremas-remas pantat sintal adik
iparku itu. “Aahh, mass,” kembali dia mendesah. Mendengar desahan Yeyen,
aku seperti semakin gila saja melumati dan sesekali menarik dan
sesekali mengisap-isap lidahnya. Yeyen semakin terlihat mulai terangsang
oleh ciumanku. Ia sesekali terlihat menggelinjang sambil sesekali juga
terdengar mendesah. “Mas, udah ya Mas,” katanya sambil berusaha menarik
wajahnya sedikit menjauh dari wajahku.
Aku menghentikan ciumanku. Kuraih kedua tangannya dan kubimbing untuk
melingkarkannya di leherku. Yeyen tak menolak, dengan sangat ragu-ragu
sekali ia melingkarkannya di leherku. “Yeyen takut Mas,” bisiknya tak
jauh dari ditelingaku. “Takut kenapa, Yen?” kataku setengah berbisik.
“Yeyen nggak mau nyakitin hati Mbak Ratri Mas,” katanya lebih pelan. Aku
pandangi mata dia, ada keseriusan ketika ia mengatakan kalimat terakhir
itu. Tapi, sepertinya aku tak lagi memperdulikan apa yang dia takutkan
itu. Kuraih dagunya, dan kudekatkan lagi bibirku ke bibirnya. Yeyen
dengan masih menatapku tajam, tak berusaha berontak ketika bibir kami
mulai bersentuhan kembali. Kucium kembali dia, dan dia pun
perlahan-lahan mulai membalas ciumanku itu. Tanganku mulai meremas-remas
kembali rambutnya. Bahkan, kini semakin turun dan terus turun hingga
berhenti persis di bagian pantatnya. Pantanya hanya terbalut celana
pendek tipis saja saat aku mulai meremas-remasnya dengan nakal. “Aahh,
Mas,” desahnya. Mendengar desahannya, tanganku semakin liar saja
memainkan pantat adik iparku itu. Sementara tangaku yang satunya, masih
berusaha mencari-cari payudaranya dari balik kaos oblongnya. Ah,
akhirnya kudapati juga buah dadanya yang mulai mengeras itu. Dengan
posisi kami berdiri seperti itu, batang penisku yang sudah menegang dari
tadi ini, dengan mudah kugesek-gesekan persis di mulut vaginanya.
Kendati masih sama-sama terhalangi oleh celana kami masing-masing,
tetapi Yeyen sepertinya dapat merasakan sekali tegangnya batang
kemaluanku itu. “Aaooww Mas,” ia hanya berujar seperti itu ketika
semakin kuliarkan gerakan penisku persis di bagian vaginanya. Tanganku
kini sudah memegang bagian belakang celana pendeknya, dan perlahan-lahan
mulai kuberanikan diri untuk mencoba merosotkannya. Yeyen sepertinya
tak protes ketika celana yang ia kenakan semakin kulorotkan. Otakku
semakin ngeres saja ketika seluruh celananya sudah merosot semuanya di
lantai. Ia berusaha menaikan salah satu kakinya untuk melepaskan lingkar
celananya yang masih menempel di pergelangan kakinya. Sementara itu,
kami masih terus berpagutan seperti tak mau melepaskan bibir kami
masing-masing. Dengan posisi Yeyen sudah tak bercelana lagi,
gerakan-gerakan tanganku di bagian pantatnya semakin kuliarkan saja.
Ia sesekali menggelinjang saat tanganku meremas-remasnya. Untuk
mempercepat rangsangannya, aku raih salah satu tanganya untuk memegang
batang zakarku kendati masih terhalang oleh celana jeansku. Perlahan
tangannya terus kubimbing untuk membukakan kancing dan kemudian
menurunkan resleting celanaku. Aku sedikit membantu untuk mempermudah
gerakan tangannya. Beberapa saat kemudian, tangannya mulai merosotkan
celanaku. Dan oleh tanganku sendiri, kupercepat melepaskan celana yang
kupakai, sekaligus celana dalamnya. Kini, masih dalam posisi berdiri,
kami sudah tak lagi memakai celana. Hanya kemejaku yang menutupi bagian
atas badanku, dan bagian atas tubuh Yeyen pun masih tertutupi oleh
kaosnya. Kami memang tak membuka itu. Tanganku kembali membimbing tangan
Yeyen agar memegangi batang zakarku yang sudah menegang itu. Kini,
dengan leluasa Yeyen mulai memainkan batang zakarku dan mulai
mengocok-ngocoknya perlahan. Ada semacam tegangan tingi yang kurasakan
saat ia mengocok dan sesekali meremas-remas biji pelerku itu. “Oohh,”
tanpa sadar aku mengerang karena nikmatnya diremas-remas seperti itu.
“Mas, udah Mas. Yeyen takut Mas,” katanya sambil sedikit merenggangkan
genggamannya di batang kemaluanku yang sudah sangat menegang itu.
“Aahh,” tapi tiba-tiba dia mengerang sejadinya saat salah satu jariku
menyentuh klitorisnya.
Lubang vagina Yeyen sudah sangat basah saat itu. Aku seperti sudah
kerasukan setan, dengan liar kukeluar-masukan salah satu jariku di
lubang vaginanya. “Aaooww, mass, een, naakk..” katanya mulai meracau.
Mendengar itu, birahiku semakin tak terkendali saja. Perlahan kuraih
batang kemaluanku dari genggamannya, dan kuarahkan sedikit demi sedikit
ke lubang kemaluan Yeyen yang sudah sangat basah. “Aaoww, aaouuww,”
erangnya panjang saat kepala penisku kusentuh-sentukan persis di
klitorisnya. “Please, jangan dimasukin Mas,” pinta Yeyen, saat aku
mencoba mendorong batang zakarku ke vaginanya. “Nggak Papa Yen,
sebentaar aja,” pintaku sedikit berbisik ditelinganya. “Yeyen takut
Mas,” katanya berbisik sambil tak sedikit pun ia berusaha menjauhkan
vaginanya dari kepala kontolku yang sudah berada persis di mulut guanya.
Tangan kiri Yeyen mulai meremas-remas pantatku, Sementara tangan
kanannya seperti tak mau lepas dari batang kemaluanku itu. Untuk sekedar
membuatnya sedikit tenang, aku sengaja tak langsung memasukan batang
kemaluanku. Aku hanya meminta ia memegangi saja. “Pegang aja Yen,”
kataku pelan.
Yeyen yang saat itu sebenarnya sudah terlihat bernafsu sekali, hanya
mengangguk pelan sambil menatapku tajam. Remasan demi remasan jemari
yeyen di batang zakarku, dan sesekali di buah zakarnya, membuatku
kelojotan. “Aku udah gak tahan banget Yen,” bisikku pelan. “Yeyen takut
banget Mas,” katanya sambil mengocok-ngocok lembut kemaluanku itu.
“Aahh,” aku hanya menjawabnya dengan erangan karena nikmatnya
dikocok-kocok oleh tangan lembut adik iparku itu. Kembali kami saling
berciuman, sementara tangan kami sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing. Saat bersamaan dengan ciuman kami yang semakin memanas,
aku mencoba kembali untuk mengarahkan kepala kontolku ke lubang
vaginanya. Saat ini, Yeyen tak berontak lagi. Kutekan pantat dia agar
semakin maju, dan saat bersamaan juga, tangan Yeyen yang sedang
meremas-remas pantatku perlahan-lahan mulai mendorongnya maju pantatku.
“Kita sambil duduk, sayang,” ajaku sambil membimbing dia ke kursi meja
makan tadi. Aku mengambil posisi duduk sambil merapatkan kedua pahaku.
Sementara Yeyen kududukan di atas kedua pahaku dengan posisi pahanya
mengangkang. Sambil kutarik agar dia benar-benar duduk di pahaku,
tanganku kembali mengarahkan batang kemaluanku yang posisinya tegak
berdiri itu agar pas dengan lubang vagina Yeyen. Ia sepertinya mengerti
dengan maksudku, dengan lembut ia memegang batang kemaluanku sambil
berupaya mengepaskan posisi lubang vaginanya dengan batang kemaluanku.
Dan bless, perlahan-lahan batang kemaluanku menusuk lubang vagina
Yeyen. “Aahh, aaooww, mass,” Yeyen mengerang sambil kelojotan badannya.
Kutekan pinggulnya agar dia benar-benar menekan pantatnya. Dengan
demikian, batang kontolku pun akan melesak semuanya masuk ke lubang
vaginanya. “Yeenn,” kataku. “Aooww, ter, russ mass.., aahh..” pantatnya
terus memutar seperti inul sedang ngebor. “Ohh, nik, nikmat banget
mass..” katanya lagi sambil bibirnya melumati mukaku. Hampir seluruh
bagian mukanku saat itu ia jilati. Untuk mengimbangi dia, aku pun
menjilati dan mengisap-isap puting susunya.
Darahku semakin mendidih rasanya saat pantatnya terus memutar-mutar
mengimbangi gerakan naik-turun pantatku. “Mass, Yee, Yeeyeen mau,”
katanya terputus. Aku semakin kencang menaik-turunkan gerakan pantatku.
“Aaooww mass, please mass” erangnya semakin tak karuan. “Yee, Yeyeen
mauu, kee, kkeeluaarr mass,” ia semakin meracau. Namun tiba-tiba,
“Krriingg..” “Aaooww, Mas ada yang datang Mas..” bisik Yeyen sambil
tanpa hentinya mengoyang-goyangkan pantatnya. “Yenn,” suara seseorang
memanggil dari luar. “Cepetan buka Yenn, aku kebelet nih,” suara itu
lagi, yang tak lain adalah suara Ratri kakaknya sekaligus istriku. “Hah,
Mbak Ratri Mas,” katanya terperanjat. Yeyen seperti tersambar petir, ia
langsung pucat dan berdiri melompat meraih celana dalam dan celana
pendeknya yang tercecer di lantai dapur. Sementara aku tak lagi bisa
berkata apa-apa, selain secepatnya meraih celana dan memakainya.
Sementara itu suara bel dan teriakan istriku terus memanggil. “Yeenn,
tolong dong cepet buka pintunya. Mbak pengen ke air nih,” teriak istriku
dari luar sana. Yeyen yang terlihat panik sekali, buru-buru memakai
kembali celananya, sambil berteriak, “Sebentarr, sebentar Mbak..” “Mas
buruan dipake celananya,” Yeyen masih sempet menolehku dan
mengingatkanku untuk secepatnya memakai celana.
Ia terus berlari ke arah pintu depan, setelah dipastikan semuanya beres,
ia membuka pintu. Aku buru-buru berlari ke arah ruang televisi dan
langsung merebahkan badan di karpet agar terlihat seolah-olah sedang
ketiduran. “Gila,” pikirku. “Huu, lama banget sih buka pintunya? Orang
dah kebelet kayak gini,” gerutu istriku kepada Yeyen sambil terus
menyelong ke kamar mandi. “Iya sori, aku ketiduran Mbak,” kata Yeyen
begitu istriku sudah keluar dari kamar mandi. “Haa, leganyaa,” katanya
sambil meraih gelas dan meminum air yang disodorkan oleh adiknya. “Mas
Jeje mana Yen?” “Tuh ketiduran dari tadi pulang ngantor di situ,” kata
Yeyen sambil menunjuk aku yang sedang berpura-pura tidur di karpet depan
televisi. “Ya ampun, Mas kok belum ganti baju sih?” kata istriku sambil
mengoyang-goyangkan tubuhku dengan maksud membangunkan. “Pindah ke
kamar gih Mas,” katanya lagi. Aku berpura-pura ngucek-ngucek mata, agar
kelihatan baru bangun beneran. Aku tak langsung masuk kamar, tapi
menyolong ke dapur mengambil air minum. “Lho katanya pulang ntar abis
magrib, kok baru jam setengah lima udah pulang? Kamu pulang pake apa?”
tanyaku berbasa-basi pada istriku. “Nggak jadi rapatnya Mas. Pake taksi
barusan,” jawab dia. “Lho, kamu lagi masak toh Yen? Kok belum kelar gini
dah ditinggal tidur sih?” kata istriku kepada Yeyen setelah melihat
irisan-irisan tempe berserakan di meja dapur. “Mana berantakan, lagi,”
katanya lagi. “Iya tadi emang lagi mo masak.
Tapi nggak tahan ngantuk. Jadi kutinggal tidur aja deh,” Yeyen berusaha
menjawab sewajarnya sambil senyum-senyum. Sore itu, tanpa mengganti
pakaiannya dulu, akhirnya istrikulah yang melanjutkan masak. Yeyen
membantu seperlunya. Sementara itu, aku hanya cengar-cengir sendiri saja
sambil duduk di kursi yang baru saja kupakai berdua dengan Yeyen bersetubuh,
walau belum sempat mencapai puncaknya. “Waduh, kasihan Yeyen. Dia
hampir aja sampai klimaksnya padahal barusan, eh keburu datang nih
mbaknya,” kataku sambil nyengir melihat mereka berdua yang lagi masak.
Hot Sauce - Kimchi KI Hot Sauce, 중국점 점에 젌섵 - Viecasino 메리트 카지노 고객센터 메리트 카지노 고객센터 ミスティーノ ミスティーノ 10bet 10bet 188bet 188bet 온라인카지노 온라인카지노 bk8 bk8 1XBET 1XBET 11bet 11bet 901 2-Horse Race Review - 2021 Best Betting Bonus - Leopards
BalasHapus